Yang perlu dicatat dan menjadi
keprihatinan besar di sini adalah, bahwa pembayaran bunga obligasi dan bunga
SBI dibebankan kepada rakyat. Dana APBN yang seharusnya digunakan untuk
kesejahteraan rakyat, malah digunakan untuk membantu bank-bank raksasa.
Lebih dari itu, kewajiban membayar bunga obligasi dan bunga SBI telah membuat APBN defisit. Untuk mengatasi defisit APBN pemerintah terpaksa berhutang ke lembaga-lembaga ribawi internasional. Padahal hutang Indonesia telah mencapai titik yang membahayakan ketika itu. Apabila pada tahun 2002 saja, hutang Indonesia total Rp 1401 Trilyun, (hutang luar negeri Rp 742 Trilyun, hutang dalam negeri sebesar Rp 659 Trilyun, maka pada tahun 2003, hutang Indonesia telah mencapai Rp 2000 Trilyun. Jika kita hanya mampu membayar hutang tersebut Rp 2 Trilyun setahun, berarti hutang luar negeri itu baru lunas lebih dari seribu tahun, itupun kalau tidak ditambah hutang baru. Hutang ini, jelas menjadi beban cucu dan cicit kita di masa depan, yang diprediksikan 20 turunan generasi ke depan masih menanggung hutang dan bunga ini.
Lebih dari itu, kewajiban membayar bunga obligasi dan bunga SBI telah membuat APBN defisit. Untuk mengatasi defisit APBN pemerintah terpaksa berhutang ke lembaga-lembaga ribawi internasional. Padahal hutang Indonesia telah mencapai titik yang membahayakan ketika itu. Apabila pada tahun 2002 saja, hutang Indonesia total Rp 1401 Trilyun, (hutang luar negeri Rp 742 Trilyun, hutang dalam negeri sebesar Rp 659 Trilyun, maka pada tahun 2003, hutang Indonesia telah mencapai Rp 2000 Trilyun. Jika kita hanya mampu membayar hutang tersebut Rp 2 Trilyun setahun, berarti hutang luar negeri itu baru lunas lebih dari seribu tahun, itupun kalau tidak ditambah hutang baru. Hutang ini, jelas menjadi beban cucu dan cicit kita di masa depan, yang diprediksikan 20 turunan generasi ke depan masih menanggung hutang dan bunga ini.
Pada tahun 2004, Indonesia menambah
hutang baru lebih dari 3 milyar dolar AS. Setiap tahun bangsa
Indonesia harus menambah hutang, untuk menutupi defisit APBN. Hutang ini jelas menjadi beban yang berat bagi generasi Indonesia mendatang. Selain meninggalkan beban hutang yang besar bagi generasi mendatang, pemerintah juga terpaksa menaikkan harga barang-barang strategis seperti harga BBM yang berkali-kali dinaikkan sepanjang tahun 2001-2003, bahkan di tahun 2005 ini. Hal ini dimaksudkan untuk menambah in come negara dalam rangka memenuhi APBN yang defisit. Tarif dasar listrik dan telephone juga ketika itu terpaksa dinaikkan untuk menambah income negara mengatasi defisit APBN. Inilah akibat berantai dari sistem ribawi dalam sistem perekonomian Indonesia. Pajak juga dinaikkan, tetapi banyak dikuras oleh pembayaran bunga. Kasihan rakyat, mereka dizalimi hanya untuk menyumbang bank-bank rekap. Ironisnya lagi, tanpa berbuat apa-apa, bank rekap bergembira ria menerima riba sebesar Rp 61, 2 Trilyun dari pemerintah pada tahun 2001 dan ini berlangsung terus, meskipun mengalami penurunan sampai tahun 2003.
Indonesia harus menambah hutang, untuk menutupi defisit APBN. Hutang ini jelas menjadi beban yang berat bagi generasi Indonesia mendatang. Selain meninggalkan beban hutang yang besar bagi generasi mendatang, pemerintah juga terpaksa menaikkan harga barang-barang strategis seperti harga BBM yang berkali-kali dinaikkan sepanjang tahun 2001-2003, bahkan di tahun 2005 ini. Hal ini dimaksudkan untuk menambah in come negara dalam rangka memenuhi APBN yang defisit. Tarif dasar listrik dan telephone juga ketika itu terpaksa dinaikkan untuk menambah income negara mengatasi defisit APBN. Inilah akibat berantai dari sistem ribawi dalam sistem perekonomian Indonesia. Pajak juga dinaikkan, tetapi banyak dikuras oleh pembayaran bunga. Kasihan rakyat, mereka dizalimi hanya untuk menyumbang bank-bank rekap. Ironisnya lagi, tanpa berbuat apa-apa, bank rekap bergembira ria menerima riba sebesar Rp 61, 2 Trilyun dari pemerintah pada tahun 2001 dan ini berlangsung terus, meskipun mengalami penurunan sampai tahun 2003.
Dari data dan fakta tersebut, maka
tak seorang pun bisa membantah, bahwa bunga bank memainkan peran penting dalam
merusak perekonomian bangsa Indonesia yang telah semakin memerosokkan Indonesia
ke dalam jeratan hutang yang membahayakan.. Bunga juga telah membuat harga BBM,
TDL dan telephon naik. Bahkan lebih dari itu, Indonesia terpaksa menjual
beberapa asset negara strategis, seperti Indosat, BCA dan perkebunan demi untuk
menutupi defisit APBN. Pajak rakyat yang seharusnya digunakan untuk
pembangunan, ternyata sangat banyak disumbangkan kepada bank-bank rekap dalam
bentuk bunga obligasi dan bunga SBI. Berdasarkan kenyataan ini, maka benarlah
apa yang dikatakan oleh Anwar Nasution, Deputi Senior Gubernur BI, bahwa
bank-bank rekap tersebut, adalah parasit bagi perekonomian Indonesia. Hal yang
sama juga sering diungkapkan oleh pakar-pakar dan praktisi perbankan nasional
lainnya, seperti Dr. Drajat Wibowo, direktur INDEF, Hilmi, ( pengawas bank dari
Bank Indonesia), dsb. Dari fakta di atas jelaslah bahwa bunga membawa petaka
kehancuran ekonomi Indonesia.(Kompas 25 Februari 2002).
Selanjutnya, kita perlu menyaksikan
fakta ketidakwarasan/kegilaan pelaku riba sebagaimana yang disebutkan Al-Quran
(2:275)., yaitu fakta penjualan (devestasi) sebuah bank swasta raksasa, sebut
saja bank ABC. Harga penjualannya sebesar Rp 5 Trilyun. Namun anehnya, pemerintah
memberi bunga obligasi kepada bank ini sebesar Rp 9 Trilyun tahun 2001.
Penjualan ini menurut H. Hilmi, mantan pejabat Senior Bank Indonesia, menurut
tindakan sableng (gila). Sebab menurutnya, setiap penjualan asset, si penjual
menerima uang. Tapi dalam sistem yang sableng ini, tidak demikian adanya, “Si
penjual tidak dapat uang”, malah nombok lagi dalam jumlah besar dan selanjutnya
menyumbang bunga terus menerus.
Karena itu pula, Drajat Wibawa,
Ekonom Senior INDEF, mengatakan bahwa perbuatan penjualan saham BCA milik
pemerintah (sistem riba) dengan harga Rp 5 Trilyun, tidak sesuai logika dan
dikatakannya bahwa perbuatan itu adalah sableng secara kolektif. Drajad Wibawa,
Ekonom Senior INDEF, menulis, (Kompas 25 Februari 2002). “Kalau transaksi yang
jelas-jelas merugikan dan tidak sesuai dengan logika (abnormal/gila) di atas
diteruskan, Indonesia memang akan mempunyai landmark kebodohan kolektif. Ini
akan menjadi preseden bagi divestasi Bank Danamon. Bank Niaga dan bank-bank
lainnya di bawah APBN. Ini juga menjadi preseden bagi proses privatisasi BUMN
karena skema sablengnya Stanchart bisa ditiru dengan mudah”.
Dikatakannya demikian, karena di
dalam divestasi BCA terlihat perbuatan yang tidak logis. Adalah logis kalau
dalam setiap penjualan asset, si penjual menerima uang. Tetapi dalam penjualan
BCA tidak demikian. Secara net, ternyata pemerintah tidak menerima uang, malah
mengeluarkan uang dalam jumlah besar. Gambarannya perhitungannya ialah, bahwa
pada tahun 2002 pemerintah menerima uang hasil penjualan BCA Rp 5 Trilyun.
Tetapi sebaliknya pemerintah justru mengeluarkan uang untuk BCA sangat besar
yaitu berupa bunga (riba) obligasi saja sebesar Rp 9,1 Trilyun. Pemerintah
memberinya Rp 9,1 Trilyun. Sementara dalam neracanya 31-12-2002 terlihat laba
Rp 3 Trilyun. Laporannya itu menunjukkan bahwa BCA terlihat hebat. Tapi ingat,
laba ini diperoleh karena mendapat sumbangan bunga riba dari pemerintah sebsar
Rp 9,1 Trilyun tadi.
Karena pemerintah bisa bertindak
“gila / sableng” seperti itu ? Menurut H. Hilmi, SE, biasanya mereka berdalih,
bahwa karena semua penyelesaian tidak ada yang baik, maka karena pusing atau
mungkin sempoyongan seperti orang sableng (gila). Mereka terpaksa memilih jalan
yang terbaik di antara yang terjelek itu. Serba susah, itulah suatu dilema yang
kita hadapi, karena sistem riba.
Melihat realitas di atas, sistem
moneter yang menggunakan instrumen bunga adalah sistem yang tidak logis, dan
jika ada orang yang masih menggunakannnya berarti ia termasuk tidak waras/gila,
sebagaimana diungkapkan Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah 275. “Orang-orang yang
memakan (mempraktekkan) riba, tidak dapat berdiri kecuali seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran pikirannya sudah gila. Mereka itu
mengatakan bahwa riba dan jual beli sama saja (bisa ditafsirkan bank riba dan
bank syariah sama saja). Padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Siapa yang telah sampai kepadanya nasehat dari Tuhannya, lalu terus
berhenti dari mempraktekkan riba, maka apa yang pernah dipraktekkan di masa lalu
menjadi urusan Allah. Tetapi, siapa yang mengulangi lagi sistem riba , maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka . mereka kekal didalamnya”.
Indonesia tidak bisa berdiri karena
bunga, terlihat dari hutang Indonesia yang demikian besar dan kesulitan ekonomi
yang dalam. Dan kalau sistem bunga ini diteruskan, maka bangsa Indonesia
sebenarnya sudah tidak waras lagi, karena sistem bunga yang sudah jelas-jelas
membawa petaka, masih dipertahankan. Karena itu, menjadi kewajiban ummat untuk
kembali ke ajaran Ilahi, ajaran Allah Swt, Tuhan yang menciptakan manusia, juga
menciptakan sistemnya untuk kita ikuti dan amalkan. Ajaran Ilahi itu
teraktualisasi dalam bank-bank Islam yang sekarang tengah berkembang dengan
pesat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Monggo dikomentari.. :D