Krisis ekonomi pada pertengahan 1997,
melonjakkan jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 50 juta jiwa. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004, jumlah penduduk Indonesia yang masuk
dalam kategori miskin tercatat sebanyak 36,17 juta jiwa. Estimasi kemiskinan sampai akhir tahun 2007
memperlihatkan angka yang masih besar, jumlah rakyat yang rentan ekonominya,
juga membesar saat dihadapkan pada kebijakan ekonomi makro, misalnya saat ini
dengan pencabutan subsidi BBM akhir tahun 2006 lalu yang ikut melejitkan
harga-harga bahan pokok hingga saat ini. Tragedi kemiskinan, pengangguran dan
masalah sosial di Indonesia terus meningkat secara signifikan setiap tahunnya.
Kondisi ini menyebabkan orang-orang miskin menjadi mengenaskan, mereka tidak
dapat memenuhi kebutuhan dasar secara layak seperti makanan, perumahan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan dan kebutuhan-kebuthan dasar lainnya.
Kondisi
ini membuat harkat dan martabat orang miskin sebagai manusia terabaikan.
Kesenjangan yang semakin melebar antara kelompok kaya dan orang miskin
menyebabkan munculnya berbagai masalah, menimbulkan kecemburuan sosial yang
kemudian berujung pada konflik sosial. Kondisi kemiskinan itu sendiri menjadi
penyebab masalah sosial. Maraknya pemukiman kumuh di daerah perkotaan, dan arus
urbanisasi yang kemudian merepotkan semua pihak, terutama Pemerintah Daerah
Jakarta. Kondisi kemiskinan juga membuat manusia menjadi kehilangan akal sehat
atau nurani kemanusiaannya. Situasi ini, menjadi lahan pengabdian bagi segenap
ikhtiar memutus rantai-rantai kemiskinan.
Permasalahan
kemiskinan pada dasarnya merupakan fenomena klasik yang hingga saat ini menjadi
perhatian utama negara-negara di dunia. Millenium Development Goals (MDGs)
yang dideklarasikan oleh PBB pada tahun 2000 mengharapkan seluruh negara yang
menjadi anggota PBB dapat mengurangi jumlah penduduk miskin dan kekurangan
pangan di masing-masing negara hingga mencapai 50 persen pada tahun 2015
(Putra, 2006).
Dalam
konteks menyikapi perkembangan kemiskinan di Indonesia, pakar kemiskinan
Gunawan Sumodiningrat menyatakan, pemerintah Indonesia bisa dikatakan hampir
berhasil mengatasi kemiskinan. Disebutkan bahwa selama tahun 1976-1996 jumlah
penduduk miskin turun drastis dari 54 juta jiwa atau 40 persen dari jumlah
penduduk (1976) turun menjadi 22,5 juta jiwa atau sekitar 11,3 persen (1996).
Krisis ekonomi tahun 1997 menyebabkan jumlah penduduk miskin meningkat hingga
23,4 persen pada tahun 1999, yang merupakan akibat dari banyaknya perusahaan
atau sentra ekonomi menghentikan kegiatan ekonomi sehingga bertambahnya angka
pengangguran.
Pada
tahun 2000, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37 juta jiwa atau
sekitar 19 persen, dan mulai turun pada tahun 2002 menjadi 18,2 persen, dan
kembali turun menjadi 17,4 persen di tahun 2003. Namun di akhir tahun 2004
terdapat kecenderungan jumlah penduduk miskin meningkat mencapai 54 juta jiwa.
(Business News, 7 September 2005:3).
Dalam
Islam dikenal beberapa bentuk insentif bagi perekonomian yang sangat unik bagi
masyarakat miskin yaitu zakat, infak dan shadaqah. Zakat bersifat wajib,
sedangkan infak dan shadaqah bersifat sukarela. Keduanya berperan sebagai
instrument pemerataan pendapatan dalam mencapai perekonomian yang berkeadilan.
Sedangkan, dalam fiskal konvensional, pajak hingga kini menjadi masih menjadi
tulang punggung APBN dalam menghadapi pengeluaran negara. Keduanya, pajak dan
zakat merupakan dua ujung tombak pemerataan pendapatan yang selama ini berjalan
di Indonesia. (Pikiran Rakyat, 27 Desember 2005)
Berdasar
hasil penelitian Pusat Budaya dan Bahasa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2004-2005, yang menyebutkan potensi zakat, infak,
dan shadaqah setiap tahunnya mencapai Rp 19, 3 triliun. Sedangkan berdasar data
BAZ nasional dan daerah serta lembaga amil zakat yang sudah dikukuhkan
pemerintah pusat maupun daerah jumlahnya kurang dari Rp 300 miliar per tahun.
Dan, pajak masih diusahakan terkait dengan tax ratio-nya. Namun telah
dijelaskan terhadap hukum diselenggarakannya pajak, yaitu: “Wahai
orang-orang beriman, janganlah kamu saling makan harta sesamamu dengan cara yang
batil...(Qs. An-Nisa:29)
Dari
Abul Khair r.a. beliau berkata: “Maslamah bin makhlad (gubernur di negeri Mesir
saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwaifi’ bin Tsabit r.a.,
maka ia berkata: “Sesungguhnya para penarik/ pemungut pajak(diadzab) di neraka.
(HR.Ahmad 4/143, Abu Dawud: 2930) (al-Furqon, 39:2006)
Berdasarkan
hal tersebut optimalisasi zakat merupakan potensi strategis untuk menunjang
pembangunan perekonomian Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan yang
sesungguhnya, yaitu secara lahir dan batin di dalam era modern ini.
Betapa
penting peran dan manfaat zakat khususnya dalam hal ekonomi. Peran zakat sangat
penting dalam usaha pemberdayaan potensi ekonomi umat. Agar pelaksanaannya
dapat efektif sehingga pada akhirnya apabila zakat benar-benar dapat berjalan
efektif, diharapkan tercapai sosial safety nets (kepastian
terpenuhinya hak minimal kaum fakir miskin) serta berputarnya roda perekonomian
umat, mendorong pemanfatan dana ‘diam’ (idle), mendorong inovasi dan
penggunaan IPTEK serta harmonisasi hubungan si kaya dan si miskin. Sehingga
pada akhirnya kehidupan umat yang ideal dengan sendirinya akan terwujud.
G. Peranan Zakat Terhadap Perekonomian
1. Zakat sebagai alternatif penanggulangan kemiskinan
Menurut para ulama, yang
menjadi sasaran zakat adalah fakir miskin. Zakat diambil dari orang kaya dan
diberikan kepada orang-orang miskin di antara mereka. Dengan istilah ekonomi,
zakat merupakan tindakan pemindahan kekayaan dari golongan orang kaya kepada
golongan yang tidak punya kekayaan, berarti pengalihan sumber-sumber tertentu
yang bersifat ekonomis. Umpamanya saja seseorang yang menerima zakat bisa
mempergunakan untuk memproduksi atau berkonsumsi. Walaupun zakat pada dasarnya
ibadah kepada Allah, bisa juga bersifat ekonomi.
Dengan menggunakan
pendekatan ekonomi, zakat dapat berkembang menjadi konsep muamalat atau
kemasyarakatan, yakni konsep tata cara manusia dalam kehidupan bermasyarakat,
termasuk dalam bentuk ekonomi. Apabila kita telusuri turunnya kewajiban zakat,
akan dijumpai alasan-alasan yang kuat untuk menghubungkannya dengan konsep
kemasyarakatan, bahkan juga kenegaraan. Surah at-Taubah ayat 60 secara rinci
membeberkan perihal zakat.
- Zakat sebagai alat
untuk memerangi masalah riba.
Siapapun orang yang berkutat dengan
riba maka cepat atau lambat, mereak akan mengetahui bahwa riba itu akan
menggerogoti system perekonomian, mungkin di salah satu sisi menyebabkan riba
tersebut menguntungkan namun disisi lain dan pada saat yang sama riba
menyebabkan kehancuran dan penindasan, karena itulah Allah dan rasulNya melaknat
ke atas pihak-pihak yang terlibat dalam proses perlaksanaan riba. Dengan
penyediaan modal bererti tertutuplah pintu sistem pinjaman yang dikenakan riba.
Modal daripada zakat itu boleh diberikan kepada fakir miskin yang berhajat
untuk membuka sesuatu pekerjaan yang termampu olehnya, sama ada sebagai
pemberian hangus atau sebagai pinjaman tanpa faedah.
3. Zakat sebagai sistem nilai dalam Islam
Pengelolaan zakat dapat
diorientasikan pada nilai-nilai Islam yang lebih luas. Konsep lain yang
terdapat dalam Alquran adalah mengenai 'Aqobah yang dapat diterjemahkan
sebagai The great ascend untuk meminjam istilah ekonomi Robert Heibroner
atau pendakian yang tinggi. Maksudnya ialah upaya mengandung tantangan berat,
seperti memerdekakan budak, memberi makanan di hari kelaparan, memelihara serta
menolong anak yatim, menolong fakir miskin yang dalam kelaparan (lihat surah
al-Balad).
Antara konsep 'aqobah
birr dan zakat terdapat titik persamaan. Tindakan zakat perlu dilandasi
dengan semangat birr yaitu: kamu tidak akan mendapat nilai kebajikan (birr)
sehingga kamu membelanjakan dari apa yang kamu cintai (Ali-Imran: 29).
Demikian pula suatu tindakan individual atau kolektif (termasuk kebijakan
ekonomi) untuk merealisasikan aqobah dapat dilakukan melalui zakat yang
dilandasi oleh motivasi birr. Dengan demikian, zakat mengandung makna
etis sosial yang luas guna menuju sasaran yang jelas.
4. Zakat Sebagai Tatanan Kehidupan Sosial
Islam
adalah ajaran yang komprehensif yang mengakui hak individu dan hak kolektif
masyarakat secara bersamaan. Sistem Ekonomi Syariah mengakui adanya perbedaan
pendapatan penghasilan) dan kekayaan pada setiap orang dengan syarat bahwa perbedaan
tersebut diakibatkan karena setiap orang mempunyai perbedaan keterampilan,
insiatif, usaha, dan resiko. Namun perbedaan itu tidak boleh menimbulkan
kesenjangan yang terlalu dalam antara yang kaya dengan yang miskin sebab
kesenjangan yang terlalu dalam tersebut tidak sesuai dengan syariah Islam yang
menekankan sumber-sumber daya bukan saja karunia Allah, melainkan juga
merupakan suatu amanah. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk
mengkonsentrasikan sumber-sumber daya di tangan segelintir orang.
Syariah
Islam sangat menekankan adanya suatu distribusi kekayaan dan pendapatan yang
merata sebagaimana yang tercantum dalam Al Quran Surah Al Hasyr ayat 7, "Jangan sampai terjadi harta kekayaan itu
beredar di kalangan kecil orang-orang kaya." Ini berarti bahwa Islam
tidak menghendaki adanya kecenderungan konsentrasi kekayaan pada sekelompok
elite masyarakat..
Pada pokoknya Islam
mengajarkan tolong-menolong, membebaskan manusia dari perbudakan menegakkan
yang baik, dan menghalau segala yang buruk dalam kehidupan bermasyarakat. Zakat
sejalan dengan ajaran-ajaran itu, maka dapat dikatakan secara pasti merupakan
salah satu bentuk kongkret bagaimana mencapai nilai-nilai tersebut.
Zakat
merupakan komitmen seorang Muslim dalam bidang soiso-ekonomi yang tidak terhindarkan
untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang, tanpa harus meletakkan beban
pada kas negara semata, seperti yang dilakukan oleh sistem sosialisme dan
negara kesejahteraan modern.
5. Zakat Sebagai Landasan Sistem Perekonomian Islam
Zakat adalah landasan
sistem perekonomian Islam dan menjadi tulang punggungnya. Karena sistem
perekonomian Islam berdasarkan pengakuan bahwa Allah adalah pemilik asal, maka
hanya Dia yang berhak mengatur masalah pemilikan, hak-hak dan penyaluran serta
pendistribusian harta. Zakat adalah pencerminan dari semua itu. Karena ia
merupakan salah satu hak terpenting yang dijadikan Allah di dalam pemilikan.
Disamping itu, dalam harta
yang kita miliki, masih ada hak-hak lain diluar zakat. Dalam sebuah hadits
dikatakan : "Sesungguhnya di dalam harta itu ada hak selain zakat".
Tetapi zakat merupakan hak terpenting di dalam harta. Karena itu ia menjadi
penyerahan total kepada Allah dalam persoalan harta. Sabda Nabi Muhammad SAW: "Zakat
adalah bukti (penyerahan)".
Dalam masalah modal, Islam
memiliki prinsip-prinsip tertentu, antara lain: Penumpukan dan pembekuan harta
adalah tindakan tidak benar dalam masalah harta. Harta harus dikembangkan dan
zakat merupakan pengejawantahan dalam masalah ini. Sebab, modal yang tidak
dikembangkan, pemilik tetap berkewajiban membayar zakat. Berarti dia harus
mengurangi bagian modal itu setiap tahunnya. Akhirnya akan mengakibatkan
semakin menipisnya modal.
Misalnya, seorang memiliki
uang lima juta rupiah yang tidak dikembangkan. Dia akan membayar zakat uang
tersebut setiap tahunnya sebanyak 2.5 %. Dalam beberapa tahun harta yang lima
juta rupiah tersebut, kecuali nishab, pasti akan habis seluruhnya. Karena itu,
pemilik modal terpaksa harus mengembangkan hartanya bila ingin menjaga modal
agar tidak habis. Sehingga zakatnya dibayar dari keuntungan, bukan dari itu
sendiri.
Dengan demikian, sistem
zakat menjadikan modal selalu dalam perputaran. Dengan ini pula kita dapat
memahami firman Allah: "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan
tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih (Qs. At Taubah:34)"
Selama infaq di jalan
Allah ditunaikan, atau sekurang-kurangnya dengan membayar zakat, maka
penimbunan harta benda itu tidak akan pernah terjadi. Rasulullah SAW bersabda:
"Selama kamu tunaikan zakatnya, maka ia bukan timbunan".
Jadi, tidak mungkin
terjadi bersama-sama antara penimbunan dengan zakat. Modal, sebagai modal yang
tidak dikembangkan, tidak memiliki keuntungan. Tetapi, di dalamnya ada hak
orang lain, yaitu penerimaan zakat. Modal, berhak mendapatkaan keuntungan
setelah dikembangkan sebagai imbalan atas kesediaannya menanggung kerugian.
Misalnya, dalam satu syarikat mudharabah (usaha bagi hasil) pemilik modal
berhak mendapat keuntungan sebagai imbalan kesediaan modal tersebut menanggung
kerugian, bila terjadi kerugian. Ini menunjukan perbedaan pokok dalam memandang
persoalan harta sebagai modal antara Kapitalisme dan Komunisme di satu pihak
dengan sistem Islam di pihak lain.
6. Zakat sebagai asas
sistem fiskal
Zakat
merupakan suatu sistem yang cukup lengkap dan mampu merangkumi semua jenis
kegiatan ekonomi dan harta. Ringkasnya ia merupakan asas kepada suatu sistem
fiskal yang lengkap. Hanya jika jumlah zakat yang dikutip itu tidak mencukupi
bagi keperluan negara, maka Islam mengharuskan mencari segala sumber-sumber lain
yang tidak bertentangan dengan syariah.
Implikasi
zakat secara langsung terhadap perekonomian dalam suatu negara, yaitu :
Pertama,
zakat mampu meningkatkan permintaan. Pada dasarnya, zakat diambil dari yang
kaya dan diberikan kepada yang miskin. Distribusi zakat kepada golongan fakir
miskin sudah tentu akan dapat menambahkan kemampuan mereka untuk meningkatkan
penggunaan (utility) mereka. Hal ini amat jelas sekali karena, pada dasarnya,
golongan fakir miskin tidak mempunyai daya permintaan yang tinggi. Pendapatan
mereka yang rendah itu sudah tentu tidak mencukupi untuk menampung keperluan
hidup mereka. Maka kecenderungan daya beli di kalangan mereka adalah sangat
rendah dibanding dengan kecenderungan daya beli di kalangan orang-orang kaya.
Dengan yang demikian, zakat yang diterima akan membuat mereka meningkatkan
penggunaan mereka terutama bagi barang keperluan. Peningkatan kepada permintaan
ini sudah tentu boleh mendorongkan pengeluaran yang lebih terutama bagi barang
keperluan.
Zakat
merupakan alat yang paling ampuh untuk membantu golongan fakir miskin. Islam,
semenjak awal, telah memberi dorongan yang amat kuat untuk penganutnya memberi
perhatian sewajarnya terhadap golongan fakir dan miskin.Zakat itu sangat
diperlukan perlu untuk pembangunan negara. Negara Brunei Darussalam tidak
memberlakukan pajak pendapatan karena pemerintaha/kerajaan di negara terebut
sudah mampu menyediakan anggaran untuk keperluan negara. Namun jika suatu
negara seperti Indonesia yang masih kekurangan maka Pemerintah boleh mencari
sumber-sumber lain yang tidak bertentangan dengan syariah.
7. Zakat dalam pengembangan potensi
ekonomi umat.
Agar
pelaksanaannya dapat efektif, Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa urusan zakat
sebaiknya jangan dikerjakan sendiri oleh muzakki (orang yang mengeluarkan
zakat), melainkan dipungut oleh petugas zakat yang telah ditunjuk oleh negara
(dalam konteks Indonesia adalah Badan atau Lembaga Amil Zakat).
Betapa
penting peran dan manfaat zakat sehingga pada masa Rasulullah SAW dan pemimpin
Islam setelahnya tidak menyerahkan urusan zakat kepada kerelaan orang-perorang
semata, tetapi menjadi tanggungjawab pemerintah (lembaga yang ditunjuk oleh
negara), baik dalam proses pemungutan maupun pendistribusian. Oleh karenanya,
yang aktif menarik dan mendistribusikan zakat adalah pejabat yang telah
ditunjuk oleh negara. Dalam melaksanakan tugasnya mereka diberi kewenangan
untuk menggunakan “paksaan” seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar r.a.
dengan memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. Pada akhirnya
apabila zakat benar-benar dapat berjalan efektif, diharapkan tercapai sosial
safety nets (kepastian terpenuhinya hak minimal kaum papa) serta
berputarnya roda perekonomian umat, mendorong pemanfatan dana ‘diam’ (idle),
mendorong inovasi dan penggunaan IPTEK serta harmonisasi hubungan si kaya dan
si miskin. Sehingga pada akhirnya kehidupan umat yang ideal dengan sendirinya
akan terwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Monggo dikomentari.. :D