Welcome.. ^,~

Assalamu'alaikum....
Selamat Datang...
Ahlan wa sahlan....
Sugeng Rawuh..

Semoga Tulisan-tulisan ku ini bisa bermanfaat,
yang kelak akan menjadi Amal Jariyah untukku.. :)

Jumat, 25 Januari 2013

Si ‘Untung’ dan Levelisasi Amalnya..



Catatan ini bukan cerita tentang Pak Untung sopir Ibuku kalo ke Pasar. Bukan juga cerita tentang keponakan ku yang juga ada nama untungnya.. hehheee...

Cekitot....
Pernah mengalami atau menemui kasus seperti ini: Pas jatoh dari motor tiba-tiba ada yang nyeletuk “untung ga papa.. untung Motornya ga rusak.. Untung Cuma lecet dikit dan untung..untung lainnya..

Atau kasus seperti ini:
 Berangkat kuliah ceritanya buru-buru.. Ampe dibela-belain pergi ngampus dengan uang seadanya.. Menunggangi  motor dengan Super High Speed, markirin motor2, lari-lagi kegedung perkuliahan lantai 3... begitu tiba di Ruang kelas.. eeeeee, “Dosennya ga masuk cuy.. ada rapat..” Untung aja tuh dosen killer ga masuk.. kalo ga mati gue,nilai Makro Pasti E!!!

Bagiku, kata Untung-untung diatas adalah makna lain dari ungkapan SYUKUR.
Syukur atas segala semua kejadian yang sudah Allah tentukan untuk kita. Baik atau buruk..

 Berikut ini ringkasan yang saya coba intisarikan dari sebuah kajian di You tube..

 “Levelisasi Amal...


"Ustadz, saya sering dengar ustadz di TV yang menyarankan sedekah biar kaya. Sedekahin motor biar dapat mobil. Apakah itu dibolehkan, sedangkan tadi ustadz bilang kita sebaiknya menempatkan amalan akhirat untuk tujuan akhirat bukan hal-hal duniawi?"

Seorang ustadz akan berbicara sesuai dengan bahasa kaumnya. Dan memang setiap orang bertahap dalam mencerna ilmu. Dengan demikian ada strata dalam amal. Ada orang-orang yang belum bisa langsung dinasihati "ayo sedekah karena Allah! Lillahi Ta'ala" sedangkan mereka sendiri belum kenal Allah, belum tau tentang ikhlas. Maka salah satu cara-strategi untuk mendekatkan mereka pada kebaikan adalah dengan memberikan motivasi duniawi. Perlahan semoga bisa terus semakin baik, dan diberi taufik dan hidayah, agar semakin baik niatnya.
Sedangkan ada dari kita yang sudah tidak lagi termotivasi dengan motif-motif dunia, kita sudah kenal janji Allah tentang akhirat, tentang Surga, tentang Kasih Sayang Allah. Maka kita tidak lagi berada di wilayah lingkaran sasaran ustadz tadi. Sedekah adalah amal akhirat, maka balasannya pun tak bisa diharga oleh mobil semewah apapun, gaji bermilyar bahkan. Karena harga Surga, melebihi apapun, karena harga Ridho Allah itu segala-galanya. 
Ibaratnya guru SD yang mengajari anak "1 ditambah 1 sama dengan 2", kita tidak bisa menghina guru tersebut "yaelah gampang gitu diajarin".
Jadi, pertanyaannya bukan ditujukan pada ustadz tsb "kok dia ngajar gitu amat sih", melainkan tanya pada diri kita sendiri: "sudah sampai kelas berapa kah kita dalam amal?"

(Eniwei, ini tambahan dari saya: bisa dibilang saya suka ngikutin kajian ustadz yusuf mansur, dan saya banyak tertegun dengan metode dakwah beliau. Emang awalnya beliau memberikan motivasi yang "seolah bau dunia". tapi coba ikuti sampai akhir, beliau akan menasihati, bahwa nikmat terbesar yang Allah beri untuk kita adalah Al-Quran dan dunia yang sering kita minta ini HANYA-lah sebagian kecil dari Kerajaan-Nya. Maksudnya, kita bebas minta apapun tentang dunia, asal minta ke Allah. Ini tembakan beliau, wallahu a'lam.
Penyakit masyarakat kita emang masih di level rendah: mencari rezeki bergantung pada selain Allah bahkan lewat jalur haram. So, saya agak menyayangkan jika ada orang yang "menyalahkan" beliau di hadapan umum atau khayalak social media. Lebih baik konfirmasi/tabayyun langsung saja secara privasi. Kita yang belom layak dipanggil ustadz/ah, ngaji baru kemaren sore, hapal quran aja belom, ga punya duit buat bikin Rumah Tahfidz, mending keep silent aja deh (i mean: no backbiting please, humble yourself!), berprasangka baiklah ketika tidak sepakat dengan seorang ulama/ustadz/guru/syaikh).

"Ustadz, ada kawan saya yang mengatakan 'ah masak ketika dapat musibah harus bersyukur, kalo dapat nikmat harus bersabar, kebalik! udah jelas kok haditsnya kalo mukmin itu ketika kena musibah sabar, baru kalo dapat nikmat bersyukur'. Itu gimana, ustadz? dan apakah nikmat dan musibah itu bergantung pada persepsi kita ya?"

Benar, sabar atas musibah juga adalah kebaikan. 
Tetapi selalu ada kebaikan di atas kebaikan. Itulah strata amal. Seorang yang mendapat jabatan, umumnya orang menganggap itu nikmat, tapi bagi mereka yang tinggi imannya menganggap itu adalah ujian berat, hingga butuh kesabaran yang kuat. Seorang gubernur di Basrah di masa Umar r.a tercatat sebagai kaum miskin yang bahkan wajib menerima zakat, suatu ketika berteriak ketakutan ketika khalifah mengirimkan setumpuk dinar, "telah datang kepadaku fitnah dunia!" kemudia ia sumbangkan seluruh dinar untuk rakyatnya. Begitulah sabar atas nikmat.
Sebenarnya, dalam nikmat itu berjuta ujian: apakah nikmat itu benar-benar digunakan untuk-Nya, apakah kita telah sadar bahwa rezeki itu dari-Nya, apakah kita justru berbangga dengan nikmat titipan-Nya? Dan pertanyaan intinya: apakah kita siap mempertanggungjawabkan nikmat yang telah Allah beri? Ini sesi mengerikan, karena selevel Abu Bakr r.a saja ketika terbayang Hari Pengadilan berkata sendu "Duhai, andaikan saja aku adalah rumput, yang kemudian dimakan oleh binatang ternak"

Cara terbaik ketika mendapat nikmat, semisal uang, adalah dengan menyerahkan semuanya untuk kebaikan, dalam rangka ibadah, bukan untuk berlalai-lalai, maksiat, atau membelanjakan sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Sebernarnya lebih berat sabar atas nikmat, daripada sabar atas musibah, jika kita mau jujur.

Sebaliknya, bersyukur atas nikmat memanglah kebaikan.
Tetapi selalu ada kebaikan di atas kebaikan. 
Bukankah lebih tinggi nilainya ketika seorang yang tertimpa musibah justru ia bersyukur?
Seorang yang bersyukur atas musibah, ia tidak pernah merasa nikmat yang ada itu sebagai nikmat yang sedikit. Sesakit apapun, semelarat apapun, ia merasa cukup dan merasa lapang hatinya.
Ia yakin bahwa setiap musibah adalah jalan pintas menuju surga, sarana tergugurnya dosa-dosa, dan tanda sayang Allah di dunia, karena setiap keikhlasan dalam musibah adalah tabungan pahala akhirat.
Dan sejatinya, tidak ada musibah yang berupa azab bagi setiap mukmin. Semuanya adalah cara Allah untuk melindungi kita agar tak semakin asyik berdosa.

Berkata Al-Ghazali, tidak mungkin seorang bersabar jika ia tidak bersyukur, dan tidak mungkin seorang bersyukur kecuali ia bersabar.
Keduanya saling melengkapi, saling mengisi.

Dan pertanyaan terakhir 
"Ustadz bagaimana berdoa agar rezeki kita dilapangkan oleh Allah"
Jawabannya singkat:
"Lapangkanlah hatimu, niscaya berapapun rezeki yang Allah beri tidak akan terasa sedikit"

Jangan pandang setiap nikmat itu dari sisi materinya, berapa banyaknya, dan apa bentuknya.
Tapi pandang Siapa yang telah memberi nikmat tersebut?
Jika kita benar cinta pada Allah, maka pemberian sekecil apapun akan terasa, sangat terasa, begitu manis begitu berharga. Kamu pernah jatuh cinta, pasti tahu rasanya :)

Wallahu a'lam bish shawab.
Kalau benar, maka dari Allah Ta'ala.
Jika salah, maka murni kebodohan saya dalam menangkap kebenaran.
----Tulisan ini hanya sekelumit dari kajian rutin (KRPH) Masjid Mardliyyah UGM, supaya teman-teman mendapat pemahaman yang lebih baik dan lengkap silahkan didengar rekamannya disinihttp://www.mediafire.com/download.php?5xcm0ar15dxgigi: http://www.mediafire.com/download.php?5xcm0ar15dxgigi 

Syukur atas nikmat dan sabar atas musibah tentu itu baik..
tapi ada yang lebih baik lagi yaitu
mana kala seorang insan Bersabar atas nikmat dan bersyukur atas musibah.
Perbandingan ada orang ada jabatan: bersyukur kpd Allah atas jabatannya tsb..
Nah sekarang ada juga orang yg dikasih jabatan kemudian dia manangis.. kemudian ditanya dgn yg lain ada apa? Ada musibah apa?? Ingat dengan Umar Bin Abdul ‘Aziz terkait jabatan? So.mana yang lebih baik?? Tentu yang Sabar kan?? Asyukro ala bala wa sabro..

"Apakah kita siap mempertanggungjawabkan nikmat yang telah Allah beri?" --- *speechless*
B.Lampung, 25 Januari 2013..
Gunter Mania.....

Top of Form


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Monggo dikomentari.. :D