Catatan ini bukan cerita tentang Pak Untung sopir Ibuku kalo ke Pasar.
Bukan juga cerita tentang keponakan ku yang juga ada nama untungnya..
hehheee...
Cekitot....
Pernah mengalami atau menemui kasus seperti ini: Pas jatoh dari motor
tiba-tiba ada yang nyeletuk “untung
ga papa.. untung Motornya ga
rusak.. Untung Cuma lecet
dikit dan untung..untung
lainnya..
Berangkat kuliah ceritanya
buru-buru.. Ampe dibela-belain pergi ngampus dengan uang seadanya..
Menunggangi motor dengan Super High
Speed, markirin motor2, lari-lagi kegedung perkuliahan lantai 3... begitu tiba
di Ruang kelas.. eeeeee, “Dosennya ga masuk cuy.. ada rapat..” Untung aja tuh dosen killer ga
masuk.. kalo ga mati gue,nilai Makro Pasti E!!!
Bagiku, kata Untung-untung diatas adalah makna lain dari ungkapan SYUKUR.
Syukur atas segala semua kejadian yang sudah Allah tentukan untuk kita.
Baik atau buruk..
Berikut ini ringkasan yang saya coba intisarikan dari sebuah kajian di You tube..
“Levelisasi Amal...
"Ustadz,
saya sering dengar ustadz di TV yang menyarankan sedekah biar kaya. Sedekahin
motor biar dapat mobil. Apakah itu dibolehkan, sedangkan tadi ustadz bilang
kita sebaiknya menempatkan amalan akhirat untuk tujuan akhirat bukan hal-hal
duniawi?"
Seorang
ustadz akan berbicara sesuai dengan bahasa kaumnya. Dan memang setiap
orang bertahap dalam mencerna ilmu. Dengan demikian ada strata
dalam amal. Ada
orang-orang yang belum bisa langsung dinasihati "ayo sedekah karena Allah!
Lillahi Ta'ala" sedangkan mereka sendiri belum kenal Allah, belum tau
tentang ikhlas. Maka salah satu cara-strategi untuk mendekatkan mereka pada
kebaikan adalah dengan memberikan motivasi duniawi. Perlahan semoga bisa terus
semakin baik, dan diberi taufik dan hidayah, agar semakin baik niatnya.
Sedangkan
ada dari kita yang sudah tidak lagi termotivasi dengan motif-motif dunia, kita
sudah kenal janji Allah tentang akhirat, tentang Surga, tentang Kasih Sayang
Allah. Maka kita tidak lagi berada di wilayah lingkaran sasaran ustadz tadi.
Sedekah adalah amal akhirat, maka balasannya pun tak bisa diharga oleh mobil
semewah apapun, gaji bermilyar bahkan. Karena harga Surga, melebihi apapun,
karena harga Ridho Allah itu segala-galanya.
Ibaratnya
guru SD yang mengajari anak "1 ditambah 1 sama dengan 2", kita tidak
bisa menghina guru tersebut "yaelah gampang gitu diajarin".
Jadi,
pertanyaannya bukan ditujukan pada ustadz tsb "kok dia ngajar gitu amat
sih", melainkan tanya pada diri kita sendiri: "sudah sampai kelas
berapa kah kita dalam amal?"
(Eniwei, ini
tambahan dari saya: bisa dibilang saya suka ngikutin kajian ustadz yusuf
mansur, dan saya banyak tertegun dengan metode dakwah beliau. Emang awalnya
beliau memberikan motivasi yang "seolah bau dunia". tapi coba ikuti
sampai akhir, beliau akan menasihati, bahwa nikmat terbesar yang Allah beri
untuk kita adalah Al-Quran dan dunia yang sering kita minta ini HANYA-lah
sebagian kecil dari Kerajaan-Nya. Maksudnya, kita bebas minta apapun tentang
dunia, asal minta ke Allah. Ini tembakan beliau, wallahu a'lam.
Penyakit
masyarakat kita emang masih di level rendah: mencari rezeki bergantung pada
selain Allah bahkan lewat jalur haram. So, saya agak menyayangkan jika ada
orang yang "menyalahkan" beliau di hadapan umum atau khayalak social
media. Lebih baik konfirmasi/tabayyun langsung saja secara privasi. Kita yang
belom layak dipanggil ustadz/ah, ngaji baru kemaren sore, hapal quran aja
belom, ga punya duit buat bikin Rumah Tahfidz, mending keep silent aja deh (i
mean: no backbiting please, humble yourself!), berprasangka baiklah ketika
tidak sepakat dengan seorang ulama/ustadz/guru/syaikh).
"Ustadz,
ada kawan saya yang mengatakan 'ah masak ketika dapat musibah harus bersyukur,
kalo dapat nikmat harus bersabar, kebalik! udah jelas kok haditsnya kalo mukmin
itu ketika kena musibah sabar, baru kalo dapat nikmat bersyukur'. Itu gimana,
ustadz? dan apakah nikmat dan musibah itu bergantung pada persepsi kita
ya?"
Benar, sabar
atas musibah juga adalah kebaikan.
Tetapi
selalu ada kebaikan di atas kebaikan. Itulah strata amal. Seorang yang mendapat
jabatan, umumnya orang menganggap itu nikmat, tapi bagi mereka yang tinggi
imannya menganggap itu adalah ujian berat, hingga butuh kesabaran yang kuat.
Seorang gubernur di Basrah di masa Umar r.a tercatat sebagai kaum
miskin yang bahkan wajib menerima zakat, suatu ketika berteriak ketakutan
ketika khalifah mengirimkan setumpuk dinar, "telah datang kepadaku fitnah
dunia!" kemudia ia sumbangkan seluruh dinar untuk rakyatnya. Begitulah
sabar atas nikmat.
Sebenarnya,
dalam nikmat itu berjuta ujian: apakah nikmat itu benar-benar digunakan
untuk-Nya, apakah kita telah sadar bahwa rezeki itu dari-Nya, apakah kita
justru berbangga dengan nikmat titipan-Nya? Dan pertanyaan intinya: apakah kita
siap mempertanggungjawabkan nikmat yang telah Allah beri? Ini sesi mengerikan,
karena selevel Abu Bakr r.a saja ketika terbayang Hari Pengadilan berkata sendu
"Duhai, andaikan saja aku adalah rumput, yang kemudian dimakan oleh
binatang ternak"
Cara terbaik
ketika mendapat nikmat, semisal uang, adalah dengan menyerahkan semuanya untuk
kebaikan, dalam rangka ibadah, bukan untuk berlalai-lalai, maksiat, atau
membelanjakan sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Sebernarnya lebih berat sabar
atas nikmat, daripada sabar atas musibah, jika kita mau jujur.
Sebaliknya,
bersyukur atas nikmat memanglah kebaikan.
Tetapi selalu ada kebaikan di atas
kebaikan.
Bukankah
lebih tinggi nilainya ketika seorang yang tertimpa musibah justru ia bersyukur?
Seorang yang
bersyukur atas musibah, ia tidak pernah merasa nikmat yang ada itu sebagai
nikmat yang sedikit. Sesakit apapun, semelarat apapun, ia merasa cukup dan
merasa lapang hatinya.
Ia yakin
bahwa setiap musibah adalah jalan pintas menuju surga, sarana tergugurnya
dosa-dosa, dan tanda sayang Allah di dunia, karena setiap keikhlasan dalam
musibah adalah tabungan pahala akhirat.
Dan
sejatinya, tidak ada musibah yang berupa azab bagi setiap mukmin. Semuanya
adalah cara Allah untuk melindungi kita agar tak semakin asyik berdosa.
Berkata
Al-Ghazali, tidak mungkin seorang bersabar jika ia tidak bersyukur, dan
tidak mungkin seorang bersyukur kecuali ia bersabar.
Keduanya
saling melengkapi, saling mengisi.
Dan
pertanyaan terakhir
"Ustadz
bagaimana berdoa agar rezeki kita dilapangkan oleh Allah"
Jawabannya
singkat:
"Lapangkanlah
hatimu, niscaya berapapun rezeki yang Allah beri tidak akan terasa
sedikit"
Jangan
pandang setiap nikmat itu dari sisi materinya, berapa banyaknya, dan apa
bentuknya.
Tapi pandang
Siapa yang telah memberi nikmat tersebut?
Jika kita
benar cinta pada Allah, maka pemberian sekecil apapun akan terasa, sangat
terasa, begitu manis begitu berharga. Kamu pernah jatuh cinta, pasti tahu
rasanya :)
Wallahu
a'lam bish shawab.
Kalau benar,
maka dari Allah Ta'ala.
Jika salah,
maka murni kebodohan saya dalam menangkap kebenaran.
----Tulisan
ini hanya sekelumit dari kajian rutin (KRPH) Masjid Mardliyyah UGM, supaya
teman-teman mendapat pemahaman yang lebih baik dan lengkap silahkan didengar
rekamannya disini: http://www.mediafire.com/download.php?5xcm0ar15dxgigi: http://www.mediafire.com/download.php?5xcm0ar15dxgigi
Syukur
atas nikmat dan sabar atas musibah tentu itu baik..
tapi
ada yang lebih baik lagi yaitu
mana
kala seorang insan Bersabar atas nikmat dan bersyukur atas musibah.
Perbandingan
ada orang ada jabatan: bersyukur kpd Allah atas jabatannya tsb..
Nah
sekarang ada juga orang yg dikasih jabatan kemudian dia manangis.. kemudian
ditanya dgn yg lain ada apa? Ada musibah apa?? Ingat dengan Umar Bin Abdul
‘Aziz terkait jabatan? So.mana yang lebih baik?? Tentu yang Sabar kan?? Asyukro
ala bala wa sabro..
"Apakah kita siap mempertanggungjawabkan nikmat yang telah Allah
beri?" --- *speechless*
B.Lampung, 25 Januari 2013..
Gunter Mania.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Monggo dikomentari.. :D